SUHARTO (8 June 1921- 27 January 2008)
Seorang Militer Karir yang Memerintah sebuah Negara
Seorang Militer Karir yang Memerintah sebuah Negara
Oleh: John Roosa
Tidak suka bicara, tidak terbuka, suka menyendiri, tanpa emosi,  Suharto memerintah Indonesia selama 32 tahun sebagai seorang misterius,  seorang diktator yang tampil sebagai tokoh tanpa wajah, yang tidak  menonjol di dalam suatu pemerintahan yang a-politis. Pidato-pidatonya  menjemukan, mudah terlupakan, penuh dengan kata-kata birokrat yang  menjemukan, klise-klise yang usang, dan nasehat-nasehat yang saleh.  Tidak ada satu pun pernyataannya yang bisa membuat orang terkenang  padanya sekarang. Orang Indonesia, jika ditanya, akan sia-sia berusaha  mengingat suatu kutipan pun yang berasal dari dia, sedangkan di lain  pihak, bahkan anak muda bisa mengutip kata-kata Sukarno, presiden yang  digulingkannya pada tahun 1965. Suharto meninggalkan kenangan tanpa  kata.
Jarang diwawancarai, tapi sering dipotret,  ia dikenang dari sebuah gerak tubuh: senyum. Begitulah ia ingin dikenal:  biografi yang disuruhnya buat pada tahun 1969 berjudul: “Jenderal yang  Tersenyum”. Itu adalah senyum “kucing Cheshire”(*), terpaku di  tempatnya, menyembunyikan sesuatu, tidak mengungkapkan isi hatinya, dan  menimbulkan tanda-tanya tentang intrik-intrik dan kekerasan apalagi yang  tengah disulap di dalam otak yang ada di baliknya.
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
————
(*) “Cheshire cat”, kucing yang diceritakan dalam kisah khayalan terkenal, “Alice’s Adventures in Wonderland”, karya Lewis Carroll. Kucing itu bisa muncul dan lenyap sesuka hati; akhirnya ia berangsung-angsur lenyap dan hanya tinggal senyumnya saja, sehingga Alice berkata: “Saya sering melihat kucing tanpa senyum, tapi belum pernah melihat senyum tanpa kucing.”
————-
Orang tua Suharto merupakan misteri. Dalam “otobiografi”-nya, yang  ditulis oleh orang yang paling bertanggung-jawab atas pembentukan citra  publiknya, G. Dwipayana, Suharto mengklaim bahwa ia dilahirkan di  kalangan petani miskin di desa Kemusuk di dekat Yogyakarta. Sebuah  majalah yang dimiliki oleh bos intelijen militer yang dipercayanya  mengklaim pada tahun 1974, bahwa ayahnya seorang ningrat. Dalam sebuah  jawaban yang mungkin disiapkan lebih dulu, Suharto mengundang wartawan  ke ruang kerjanya di istana kepresidenan untuk menjelaskan garis  keturunannya dan mengajukan saksi-saksi yang dapat menguatkan bahwa ia  sungguh-sungguh orang yang baik, jujur dan dapat dipercaya. Sekalipun ia  menyanggah, garis keturunannya tetap diragukan. Di kalangan orang  Indonesia tersebar luas cerita bahwa ia anak tidak sah dari seorang  pedagang Cina.
Karir yang menyenangkan
Apa pun asal-mulanya dan pengalaman masa kanak-kanaknya, di masa  dewasa ia jelas adalah seorang militer karir. Ia masuk militer Belanda  pada tahun 1940, yang merupakan peristiwa yang dalam “otobiografi”-nya  dikatakannya sebagai “kunci yang membuka pintu kepada sebuah kehidupan  yang menyenangkan”. Kehidupan menyenangkan yang terdiri dari  baris-berbaris dan latihan itu berlanjut pada masa pendudukan Jepang,  ketika ia menjadi anggota milisi Peta. Seperti anggota milisi lain, ia  bergabung dengan tentara nasional Indonesia yang baru dibentuk begitu  militer Jepang menyerah pada Agustus 1945. Tidak dimungkinkan lagi untuk  kembali mengabdi pada Belanda, karena Belanda telah dilucuti kekuasaan  dan kekayaannya oleh Jepang dan menjalani tahun-tahun perang di dalam  kamp-kamp konsentrasi yang kotor dan tidak nyaman.
Berkat latihan militer yang pernah diikutinya, Suharto diberi pangkat  tinggi (letnan kolonel) dalam tentara Indonesia yang baru itu, yang  dibentuk untuk melakukan perang gerilya melawan tentara Belanda yang  datang kembali. Pada tahun 1948 ia telah menjadi komandan sebuah brigade  pasukan yang ditempatkan di dalam dan di sekitar Yogyakarta, ibukota  Republik. Serangan-serangan gerilya tentara itu tidak banyak bermanfaat  dalam menghambat kemajuan pasukan Belanda.
Sekalipun lebih menguasai medan di kandang sendiri, Suharto  dikejutkan pada 19 Desember 1948 ketika pasukan Belanda menyerbu  Yogyakarta dan menguasainya pada hari yang sama tanpa menghadapi  perlawanan sedikit pun. Entah bagaimana, keempat batalyon Suharto sedang  berada di luar kota. Itu merupakan kemunduran terburuk bagi Republik:  kedua orang pimpinan tertingginya, Sukarno dan Hatta, tertawan.
“Politik saya terletak di ujung bayonet.”
Suharto mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri ketika ia memimpin  sebuah serangan terhadap kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Serangan  itu hanya menimbulkan kerusakan kecil di kalangan pasukan Belanda yang  menduduki kota itu dan dipukul mundur dalam waktu enam jam. Namun,  Suharto dan para komandan militer lain mengklaim bahwa mereka telah  menguasai kota untuk sementara waktu dan membuktikan kehebatan angkatan  bersenjata Republik kepada dunia. Setelah Suharto berkuasa pada tahun  1965, peristiwa itu disulap menjadi kemenangan yang menentukan dalam  perang kemerdekaan, dan dibuatlah film tentang peristiwa itu, “Janur  Kuning” (1979), dan di kota Yogya didirikan sebuah monumen besar untuk  mengenangnya (1985).
Sebagai orang yang pernah bekerja dalam tiga tentara yang berbeda  dalam kurun waktu satu dasawarsa, Suharto mempunyai komitmen politik  yang enteng. Salah satu kolega militernya belakangan berkata pada  seorang wartawan, bahwa pada tahun 1948 Suharto pernah berkata, “Politik  saya terletak di ujung bayonet.” Tidak heran bahwa Sukarno dan menteri  pertahanannya yang berhaluan kiri memasukkan komisaris politik di dalam  tentara. Seperti banyak tentara yang dilatih di bawah perwira Belanda  dan Jepang, Suharto tidak punya pengalaman didalam gerakan nasionalis  populer yang telah berjuang melawan imperialisme.
Menapak jenjang kepangkatan
Setelah kemerdekaan tercapai dalam tahun 1949, Suharto menanjak  pangkatnya: kolonel, brigadir jenderal, mayor jenderal. Ia pernah  mengalami kemunduran pada tahun 1959, ketika ia diberhentikan sebagai  komandan tentara di Jawa Tengah karena korupsi. Tetapi peristiwa itu  ditutupi dan ia direhabilitasi dengan cepat. Ia ditugasi memimpin  operasi merebut Irian Barat dari Belanda pada tahun 1962 – operasi itu  dihentikan pada saat terakhir dengan tercapainya kesepakatan diplomatik.  Ia lalu dipindahkan ke Jakarta dan diberi jabatan sebagai komandan  cadangan angkatan darat, Kostrad, pada tahun 1963. Dengan catatan karir  yang tidak menonjol, pendidikan yang rendah, dan tidak menguasai bahasa  asing, pada tahun 1965 ia menjadi calon utama untuk menduduki jabatan  tertinggi di angkatan darat, dan bertindak menggantikan panglima  angkatan darat, Yani, bila ia pergi keluar negeri.
Suharto naik ke puncak militer yang kemudian menjadi semacam negara  di dalam negara, memiliki komandan teritorial, yang pada mulanya  didesain untuk pertahanan terhadap invasi asing, tetapi kemudian  memerintah masyarakat sipil.
Kebanyakan dari jenderal-jenderal lain, termasuk yang paling senior,  A.H. Nasution, sangat anti-komunis dan bertekad menahan kekuatan PKI  yang tengah meningkat pada awal 1960an. Untuk menandingi partai itu,  mereka pun membentuk serikat buruh, perhimpunan seniman, dan surat  kabar. Mereka berhubungan dengan organisasi-organisasi keagamaan dan  partai-partai politik, dan meyakinkan mereka bahwa bila perlu militer  akan menggunakan kekerasan terhadap PKI.
Suharto tidak secara jelas memihak pada salah satu pihak. Seorang  mantan anggota PKI di parlemen mengatakan kepada saya, bahwa DN Aidit,  ketua PKI, pada awal 1965 mengira bahwa Suharto seorang perwira yang  “demokratis” oleh karena ia mendukung pengakhiran SOB (keadaan perang)  pada tahun 1963. Tetapi Suharto juga berhubungan dengan golongan  anti-komunis dalam usaha tertutupnya untuk mengerem kampanye  anti-Malaysia Sukarno yang dimulai pada tahun 1963.
Hari yang beruntung baginya
Duduk di pinggiran ternyata membawa Suharto pada puncak kekuasaan.  Ketika para perwira militer yang pro-PKI dan pro-Sukarno memutuskan  bertindak terhadap para perwira saingan mereka, mereka beranggapan  Suharto akan mendukung mereka. Sekelompok perwira junior mengorganisir  penculikan tujuh jenderal angkatan darat pada 1 Oktober 1965. Dua di  antara komplotan itu adalah sahabat dekat Suharto, dan seorang di  antaranya menceritakan kepada Suharto rencana komplotan itu sebelum  terjadi. Para penculik, yang menamakan diri Gerakan 30 September,  akhirnya membunuh enam jenderal, termasuk di antaranya panglima angkatan  darat, Yani. Itu adalah hari yang menguntungkan bagi Suharto. Dengan  absennya Yani, ia menjadi panglima angkatan darat. Gerakan 30 September  tidak diotaki oleh Suharto tetapi peristiwa itu justru memberi  kesempatan baginya untuk mencapai cita-citanya.
Sebagai komandan militer, Suharto mulai menentang perintah-perintah  presiden dan menerapkan agenda yang sejak lama dimiliki oleh para  perwira anti-komunis, yakni mengurangi pengaruh Sukarno sehingga menjadi  presiden tanpa kekuasaan, menghancurkan PKI, dan menegakkan  kediktatoran militer. Sikap anti-komunis Suharto bukan berasal dari  komitmen ideologis yang mendalam.
Seandainya Gerakan 30 September berhasil dan kaum komunis meraih  kekuasaan lebih besar, kita bisa dengan mudah membayangkan bagaimana  Suharto yang selalu oportunistik itu menyesuaikan diri dengan rejim yang  baru. Ia adalah perwira yang biasa dan sama sekali tidak menonjol,  sehingga pada minggu-minggu pertama Oktober itu banyak pengamat mengira  bahwa ia sekadar mengikuti pimpinan Nasution.
Kudeta merangkak
Menyingkirkan Presiden Sukarno ternyata tidak terlalu sulit. Tokoh  besar nasionalisme Indonesia, “penyambung lidah rakyat”, terus-menerus  memprotes, tetapi tidak berbuat sesuatu untuk menyetop meriam Suharto.  Ia menguatkan Suharto sebagai panglima angkatan darat, menaikkan  pangkatnya, dan memberinya kekuasaan darurat. Puncak dari kudeta  merangkak terjadi pada Maret 1966, ketika Suharto menggunakan perintah  yang kata-katanya samar tentang “menjamin keamanan” dari Sukarno sebagai  justifikasi untuk menangkap 15 menteri dan membubarkan kabinet  Sukarno–seolah-olah presiden memerintahkan penggulingan dirinya sendiri.
Penghancuran PKI–prakondisi untuk menerapkan suatu kebijakan politik  baru yang didominasi militer–ternyata juga tidak terlalu sulit. Pimpinan  PKI, yang kalang kabut setelah 1 Oktober, menyerukan kepada para  anggotanya untuk tidak melawan supaya Presiden Sukarno dapat mengatur  suatu pemecahan politis terhadap krisis itu. Tetapi presiden tidak  berkuasa atas tentara Suharto. Bekerja sama dengan milisi sipil, tentara  mengorganisir sebuah pertumpahan darah yang paling buruk dari abad  ke-20, menangkap lebih dari sejuta orang, lalu dengan diam-diam membunuh  banyak di antara mereka. Tahanan-tahanan lenyap di waktu malam.  Kuburan-kuburan massal terisi mayat-mayat yang tak terhitung banyaknya  tersebar tanpa tanda di seluruh Sumatra, Jawa dan Bali.
Tidak ada dokumen yang membuktikan bahwa Suharto memerintahkan satu  pembunuhan pun. Dalam beberapa kesempatan yang jarang, ketika ia  berbicara tentang pembunuhan-pembunuhan itu pada tahun-tahun belakangan,  ia menyalahkan orang-orang sipil yang mengamuk. Penyelidikan yang  saksama terhadap siapa, di mana, kapan dan bagaimana berkaitan dengan  pembunuhan-pembunuhan itu mengungkapkan bahwa militerlah yang paling  bertanggung-jawab dan bahwa Suharto setidak-tidaknya menyetujuinya,  kalau bukan ia yang memberikan perintah lisan atau tertulis yang  eksplisit untuk melakukannya.
Wortel & cemeti
Dalam merebut kekuasaan, Suharto dan perwira-perwira militer kliknya  menyadari bahwa stabilitas jangka panjang dari kekuasaan mereka akan  bergantung pada kemampuan mereka untuk meningkatkan taraf kehidupan  rakyat. Mereka berpaling pada bantuan, penanaman modal dan pasar luar  negeri untuk memberikan rangsangan utama bagi pertumbuhan ekonomi. Modal  Barat yang memboikot Indonesia karena kebijakan politik Sukarno dulu  mendapati permadani selamat datang terhampar menyambut mereka. Suharto  sendiri campur tangan pada akhir 1965 untuk menghentikan usaha menteri  perindustrian Sukarno untuk menasionalisir sektor minyak. Dengan  kampanye teror militer terhadap serikat buruh di ladang-ladang minyak,  kebun-kebun karet, dan pabrik-pabrik, modal Barat memperoleh tenaga  kerja yang patuh.
Salah satu alasan bagi kemampuan Suharto yang mencolok untuk  mempertahankan kekuasaan begitu lama adalah kebijakannya memperluas  kesempatan kerja di sektor publik. Pada akhir kekuasaannya, 4,6 juta  orang mendapat gaji dari pemerintah, tiga kali lebih banyak daripada  pada awal tahun 1970an. Jutaan orang lagi merupakan tanggungan para  pegawai makan gaji ini. Jaminan gaji bulanan itu menarik, sekalipun  pendapatannya rendah. Di samping itu, sejumlah jabatan di pemerintahan  memungkinkan orang untuk mendapat lebih banyak uang dengan korupsi.
Para pegawai negeri ini beserta sanak keluarganya merupakan basis  pendukung kunci bagi rejim ini, dengan memberikan suara dan berkampanye  bagi partai pemerintah, Golkar, pada setiap pemilihan umum. Mereka yang  tidak memilik Golkar dipersalahkan karena menggigit tangan yang memberi  mereka makan, dan kehilangan kesempatan untuk naik pangkat.
Tanggapan Suharto terhadap pembangkangan–menggunakan bahasa  sekarang–adalah ‘gertak & bikin takut’. Di Papua, ia menempatkan  tentara pendudukan yang memperlakukan penduduk asli sebagai lebih rendah  dari manusia, yang harus ditundukkan dengan kekerasan. Selama  bertahun-tahun, satu-satunya wajah Indonesia yang dilihat oleh orang  Papua adalah tentara. Suharto bertanggung jawab bagi puluhan ribu orang  Papua yang tewas dalam perang melawan pemberontakan dari akhir 1960an  sampai 1998. Ia juga bertanggung jawab atas perang agresi terhadap Timor  Timur pada tahun 1975, dan atas terbunuhnya lebih dari 100 ribu orang  di sana akibat perang di separuh pulau itu. Ia juga bertanggung jawab  atas terbunuhnya ribuan orang di Aceh yang juga merupakan korban perang  melawan pemberontakan (1990-98), yang didesain untuk meneror penduduk  sipil agar tidak mendukung gerilya, dan bukan menawarkan alternatif
yang lebih positif kepada warga sipil.
yang lebih positif kepada warga sipil.
Suharto dengan keras kepala berpegang pada strateginya bahkan setelah  terbukti kontra-produktif, ketika teror yang dilancarkan di Papua,  Timor Timur dan Aceh menghasilkan lebih banyak perlawanan yang meluas.  Hanya setelah Suharto jatuh, para politisi Indonesia mendapat kesempatan  untuk mengupayakan pemecahan politis & diplomatis yang lebih  manusiawi terhadap perang-perang ini: Presiden Habibie mengizinkan suatu  referendum yang dilaksanakan oleh PBB di Timor Timur pada tahun 1999,  dan Presiden Yudhoyono menandatangani perjanjian perdamaian dengan kaum  nasionalis Aceh pada tahun 2005.
‘Program Ponzi’(*) raksasa itu pun ambruk
Dalam menilai pemerintahan Suharto, apa yang disebut pendekatan  “seimbang” dari banyak sarjana Barat adalah mengkritisi Suharto tentang  pelanggaran-pelanggaran HAM-nya, tetapi memuji kinerja ekonomisnya.  Mereka yang terkesan oleh pertumbuhan enam persen setahun tidak berbeda  dengan para investor yang mudah dikibuli dalam suatu ‘Program Ponzi’(*)  raksasa, yang yakin bahwa penghasilan tinggi yang terlihat di permukaan  merupakan bukti tak terbantahkan dari sebuah sukses. Pertumbuhan ekonomi  pada tahun-tahun Suharto sebagian besar dihasilkan dengan menjual  secara liar sumberdaya-sumberdaya alam negeri itu. Itu adalah  pertumbuhan yang memakan dirinya sendiri, dan yang tak mungkin akan  lestari.
Sektor-sektor utama adalah minyak dan kayu. Keduanya mengalami salah  urus yang hebat karena korupsi. Pada hari ini Indonesia secara bersih  adalah negara pengimpor minyak dan hutan-hutannya menghilang dengan  cepat, dibabat oleh para logger atau dibakar oleh pemilik perkebunan  kelapa sawit. Pendapatan dari semua ekspor itu tidak diinvestasikan  kembali ke dalam sektor-sektor lain; uang itu lenyap masuk rekening bank  dari keluarga Suharto & para kroninya (seperti Bob Hasan), dan para  pejabat pemerintah.
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
—————
‘Program Ponzi’ : suatu operasi investasi palsu & kriminal, yang di situ para penanam modal awal mendapat hasil (“laba”) yang sangat besar yang dibayar dari investasi oleh para penanam modal yang datang belakangan, dan bukan dari hasil bersih yang berasal dari kegiatan bisnis yang benar.
—————
Setelah tiga dasawarsa pertumbuhan ekonomi a la Suharto, pemerintah  Indonesia dibebani hutang banyak, dan perekonomian Indonesia tidak  memiliki basis industri yang didanai dari dalam negeri. Sungguh pas  kalau Suharto, yang pengikut-pengikutnya memujinya sebagai “Bapak  Pembangunan”, meninggal dunia di rumah sakit yang dimiliki oleh  perusahaan minyak negara (Pertamina) yang oleh keluarganya dan kroninya  (seperti Ibnu Sutowo) diperas habis-habisan.
Rejim Suharto hidup dari modal asing dan mati karena modal asing.  Liberalisasi sektor keuangan yang didesakkan oleh A.S. kepada Indonesia  supaya dianut pada awal 1990an berakibat kerentanan yang lebih besar  terhadap perubahan mendadak dalam aliran modal internasional. Uang  mengalir masuk ke dalam gerombolan kleptokrat Suharto dan bank-banknya  yang palsu, lalu tiba-tiba mengalir keluar lagi. ‘Program Ponzi’ raksasa  itu pun runtuh dengan terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun 1997.  Satu-satunya legitimasi yang dimiliki oleh Suharto adalah apa yang  seolah-olah tampak merupakan kemampuannya untuk menciptakan pertumbuhan  ekonomis. Begitu itu berakhir, maka kelas menengah yang biasanya menurut  saja membalik terhadapnya, tidak mau mentolerir korupsinya,  anak-anaknya yang serakah dan kroni-kroninya yang sangat immoral  mencolok kekayaannya. Gerakan yang secara spontan terbentuk bagi  “reformasi” ini menyatakan musuh utama mereka adalah KKN: Korupsi,  Kolusi & Nepotisme. Kampanye keluarga Suharto sendiri, “Saya Cinta  Rupiah”, yang datang dari mereka yang justru punya dollar paling banyak,  tidak mempunyai bobot yang sama dengan slogan gerakan itu.
Segudang paranormal yang dimiliki keluarga itu tidak bisa  menyelamatkan mereka; tidak pula jenderal-jenderal penjilat mereka,  bahkan tidak Letnan Jenderal Prabowo, menantu Suharto yang menguasai  pasukan elite di Jakarta, dan yang selalu bergelimang uang dari  saudaranya yang memiliki satu-satunya pabrik baja di negeri itu. Suharto  lengser pada 21 Mei 1998, ketika Jakarta masih mengepulkan asap bekas  kerusuhan misterius, yang di situ toko-toko yang dimiliki oleh  orang-orang Indonesia keturunan Cina dibakar.
Mr. Minus
Mungkin yang terbaik dapat dikatakan tentang 32 tahun pemerintahan  Suharto ialah bahwa salah-salah keadaannya bisa lebih buruk dari  sekarang. Ia tidak memilih strategi jenderal-jenderal Burma dan  mengisolasi negeri ini. Bergantung pada modal asing, ia rentan terhadap  tekanan internasional. Pelepasan puluhan ribu tahanan politik pada akhir  1970an sebagian besar disebabkan oleh tekanan dari luar negeri. Ia  tidak memilih untuk mencari legitimasi dirinya melalui agama dan  menerapkan hukum Islam. Negara Indonesia sebagian besar tetap sekuler.  Ia tidak memupuk kultus pribadi di seputar dirinya. Ketika menghadapi  protes massal pada tahun 1998, ia tidak memilih mempertahankan kekuasaan  dengan segala cara.
Almarhum sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang  menjadi tahanan politik Suharto selama 14 tahun, pernah menulis bahwa ia  tidak bisa memaksa dirinya menulis tentang rejim Suharto. Sementara ia  menulis banyak novel historis tentang Jawa di zaman pra-kolonial dan  gerakan nasionalis Indonesia, ia berpendapat tidak ada apa-apa yang  menarik untuk ditulis tentang orang yang bertanggung jawab  memenjarakannya dan melarang buku-bukunya itu. Baginya, Suharto adalah  suatu negativitas, apa yang dinamakannya suatu “minus X”, suatu  kemunduran kembali ke zaman para aristokrat kolonial, yang menindas  bawahan mereka bagi kepentingan bisnis Eropa, namun membusungkan dada  memamerkan kekuatan kosmik mereka yang hebat, dan tetap berpandangan  sempit dan tidak peduli terhadap sains dan seni dari Eropa yang telah  menaklukkan mereka. Tidak diragukan bahwa beberapa orang akan mengingat  Suharto bagi beberapa hal yang positif, tetapi sementara Indonesia  berjuang mengatasi warisannya yang buruk, kita bertanya-tanya, apakah  orang bisa menilai gelarnya sebagai “Bapak Pembangunan” itu sebagai  sesuatu yang sahih selain sebagai sebuah guyonan yang
kejam.***
kejam.***
 

 
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar