DEDIJEGALE.COM
Pekan ASI (Air Susu Ibu) Sedunia (World Breasfeeding Week) pada 1-7 Agustus 2011 yang kemudian dilanjutkan dengan berbagai kegiatan sampai akhir bulan untuk mengampanyekan betapa pentingnya arti menyusui bayi secara eksklusif. Tema nasional tahun ini adalah “Katakan Padaku: Menyusui Menakjubkan-Mari Kita Bantu”
Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih, seusai peringatan Hari Gizi Nasional (25/01/11) menyatakan bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) dan Pembatasan Susu Formula telah selesai dan segera diundangkan (Republika Online, 25 Januari 2011).
Regulasi ini mendesak untuk segera diwujudkan mengingat bahwa, hak bayi baru lahir terhadap akses air susu ibu (ASI) sungguh mengenaskan. Hasil Survai Sosial Ekonomi (Susenas) menunjukkan telah terjadi penurunan terhadap perilaku para ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Tercatat pada tahun 2006 hanya sebesar 64,1%, kemudian menurun menjadi 62,2% pada tahun 2007, bahkan merosot hanya 56,2% pada tahun 2008. Sementara, data terakhir dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 justru memperlihatkan hasil yang sungguh sangat mencengangkan, bahwa di kalangan ibu yang menyusui cakupan ASI eksklusif hanya mencapai sekitar 22%.
Padahal, beberapa penyakit yang biasa menyerang anak, dapat dihindarkan dengan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan dan meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia dua tahun. Bahkan, inisiasi menyusu dini (IMD) yang diberikan kepada bayi baru lahir dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 22%.
Hak bayi atas ASI eksklusif sebenarnya telah dilindungi oleh regulasi, seperti yang tertuang di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 128 ayat (1) “Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis”.
Mengurai benang kusut rendahnya konsumsi ASI eksklusif oleh bayi bukanlah hal yang mudah. Tudingan yang kemudian muncul diarahkan terhadap gencarnya iklan susu formula di media massa. Bahkan peran profesi kesehatan dan institusi pelayanan kesehatan juga disinyalir terlalu dominan dalam menggiring para ibu untuk mengganti ASI dengan susu formula. Diduga terjadi transaksi yang saling menguntungkan hanya karena motif ekonomi belaka.
Tetapi tidak serta merta praktik tersebut menjadi sebab yang paling dominan, perlu dilihat beberapa faktor yang menghambat bayi dalam akses terhadap ASI eksklusif. Mitos masyarakat terhadap ASI eksklusif pun perlu diperhitungkan, misalnya anggapan bahwa “kolostrum”, ASI yang pertama kali keluar yang lengket kekuningan, harus dibuang karena banyak mengandung kuman penyakit. Padahal justru “kolostrum” merupakan makanan yang kaya dengan unsur-unsur gizi dan sangat tinggi immunoglobulin maupun faktor-faktor pelindung lainnya sehingga ASI dapat dianggap sebagai obat alamiah sekaligus juga makanan alamiah (Akre, 1994).
Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak jarang para ibu menyusui juga bekerja. Pengaturan pekerjaan pun agaknya tidak mendukung ibu yang bekerja untuk menyusui secara eksklusif. Sistem cuti yang hanya diberikan kurang lebih tiga bulan, tentu saja tidak akan mencukupi untuk menyusui selama enam bulan. Sistem penggajian dengan pola harian juga memaksa ibu menyusui yang bekerja yang seharusnya cuti, lebih memilih mengambil pekerjaan seperti biasanya daripada menyusui di rumah. Fasilitas untuk menyusui di tempat kerja, juga jarang ditemukan.
Peran pemerintah seharusnya lebih nyata dengan menerbitkan kebijakan untuk mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus di tempat kerja maupun tempat sarana umum.
Tidak kalah penting, kontrol terhadap para profesi kesehatan maupun institusi pelayanan kesehatan yang berkaitan langsung dengan pemberian makanan untuk bayi perlu diperketat. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergiat dalam perlindungan konsumen hendaknya lebih berani melakukan tuntutan terhadap pihak-pihak yang menghalangi pemberian ASI eksklusif. UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur, seperti pada pasal 200 menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00,- (seratus juta rupiah)”.
Menumbuhkan kelompok-kelompok para ibu menyusui sangat diperlukan sebagai wadah dalam mengatasi masalah maupun berbagi pengalaman. Dalam kegiatannya diperlukan fasilitator, bisa profesi kesehatan, LSM maupun ibu menyusui itu sendiri, yang mampu memberikan saran terhadap berbagai problema selama proses menyusui berlangsung.
Mestinya kita segera menyadari bahwa, sebenarnya kita masih terpuruk dalam mencapai angka kematian bayi sesuai dengan target Millennium Development Goals (MDGs) sasaran 4 pada tahun 2015 yang harus dicapai sebesar 23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup, sementara baru mencapai sebesar 34 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup (Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007). Jangan sampai sulitnya menurunkan angka kematian bayi tersebut sebenarnya didominasi karena faktor kesengajaan, “mencekoki” bayi-bayi kita dengan susu sapi bukan ASI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar