INGIN MENGETAHUI BUDAYA DEDIJE ADA SEMUA TIPS DEDIJE ADA SEMUA DEDIJEGALE (SEMUA DISINI) SALAM PERTEMUAN DEDIJEGALE SEE U NEXT TIME DEDIJEGALE.COM GOOD BY * TERIMA KASIH TELAH BERKUNJUNG contakperson admin 082380027777 *

Sejarah Terbentuknya Lambang Garuda Pancasila

Written By Kausarin Amd on Senin, 17 Agustus 2020 | Senin, Agustus 17, 2020

dedijegale.com

Dalam pasal 36A UUD I945 disebutkan bahwa lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bentuk Lambang Garuda Pancasila adalah burung Garuda yang dari sudut pandang Garuda, kepalanya menoleh ke sebelah kanan. Perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis di pita dan dicengkeram oleh kaki Garuda.

Lambang negara Indonesia Garuda Pancasila diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 66/ 1951 tentang Bentuk dan Ukuran Lambang Negara dan Tata Cara Penggunaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.

Lambang Garuda Pancasila dirancang oleh Syarif Abdul Hamid Alkadrie, yang dikenal sebagai Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Secara resmi pemakaian Garuda Pancasila sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950.

Sejarah Lambang Negara Garuda Pancasila


Saat memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki lambang negara. Sebenarnya, pada 16 November 1945 telah dibentuk Panitia Indonesia Raya, yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan sekretaris Muhammad Yamin yang bertugas untuk menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia sebagai langkah awal untuk kajian tentang lambang negara.

Namun terjadi Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949 sehingga tugas Panitia Indonesia Raya dalam membuat kajian tentang lambang negara menjadi tertunda. Setelah penyerahan kedaulatan Indonesia oleh Belanda sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, Indonesia (saat itu berbentuk Republik Indonesia Serikat) harus segera memiliki lambang negara.

Presiden Sukarno kemudian membuat surat keputusan presiden (Keppres) Republik Indonesia Serikat Nomor 2 pada 30 Desember 1949, yang isinya mengangkat Sultan Hamid II menjadi menteri negara zonder portofolio (menteri yang tak mengepalai kementerian) yang diberi mandat untuk melakukan perancangan lambang negara dan menyiapkan gedung parlemen RIS.

Pada sidang Kabinet RIS kedua tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Lencana Negara yang bertugas mengadakan sayembara dan menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah. Susunan panitia teknis, Ketua adalah Muhammad Yamin dan sebagai anggota adalah Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Moh. Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka.

Menteri Penerangan Priyono kemudian mengumumkan hasil sayembara perancangan lambang negara yang diikuti oleh banyak peserta, dengan dua kandidat untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah yaitu rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab”, pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan adanya pengaruh dari Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara zonder portofolio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno setelah mendapat masukan dari Partai Masyumi karena dianggap terlalu bersifat mitologis karena adanya tangan dan bahu manusia yang memegang perisai pada gambar burung Garuda.

Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh. Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam buku “Sekitar Pancasila” terbitan Dep. Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada 11 Februari 1950.

Namun, ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.

Soekarno terus memperbaiki bentuk gambar Garuda Pancasila. Soekarno memerintahkan penambahan “jambul” pada kepala Garuda Pancasila agar tidak mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat. Juga  posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara.

Pada 20 Maret 1950, Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis hasil penyempurnaan final gambar lambang negara Garuda Pancasila dengan menambah skala ukuran dan tata warna .

Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.

Mitologi Garuda

Garuda sudah dikenal melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia yang muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah, Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta.

Garuda sebagai kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai Candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh, dan Cetho dalam bentuk relief atau area. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan Arca Garuda di dalamnya.

Di Candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, jatayu, mencoba menyelamatkan Shinta dari cengkeraman Rahwana. Arca Anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah Arca Garuda Jawa Kuno paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.

Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai “Tuan segala makhluk yang dapat terbang” dan “Raja agung para burung”. Di Bali Garuda digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga.

Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan. Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.

Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuno telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai pewujudan ideologi Pancasila. Garuda digunakan sebagai lambang negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika

Bhinneka Tunggal Ika adalah motto atau semboyan Indonesia yang berasal dari bahasa Jawa Kuno. Kata Bhinneka berarti “beraneka ragam” atau “berbeda-beda”. Kata “neka” dalam bahasa Jawa Kuno berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam bahasa Indonesia. Kata Tunggal berarti “satu”. Kata Ika berarti “itu”.

Secara harfiah, Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan.

Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu Kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5, yaitu:

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnéhi rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan siwatatwa tunggal, Bhinnéha tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat gang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kolase

Kolase